Minggu, 19 September 2010

MODEL-MODEL INTUITIF

Model adalah alat esensial untuk memahami suatu konsep. Bilamana seseorang dihadapkan dengan konsep yang secara intuitif sulit difahami, orang cenderung mencoba menyajikannya melalui model yang secara intuitif lebih mudah diterima. Model ini disebut model intuitif. Gentner (Fischbein, 2002) mendefinisikan model sebagai berikut: sistem B merepresentasikan sebuah model untuk sistem A bilamana berbasis pada isomorfisma tertentu, deskripsi atau penyelesaian yang dihasilkan dalam sistem A dapat direfleksikan secara konsisten ke dalam sistem B. Demikian pula sebaliknya.
Relasi matematika seperti rumus atau fungsi, umumnya merupakan model abstrak dari realitas tertentu. Rumus fungsi kuadrat  adalah model abstrak jarak yang diperoleh dari gerak dipercepat. Mengetahui a (percepatan), seseorang dapat menentukan jarak yang ditempuh benda bergerak dipercepat dalam t unit waktu. Hasil yang diperoleh dalam sistem abstrak adalah valid untuk fenomena yang sesuai dalam sistem nyata (konkret) dan merepresentasikan suatu alat untuk memprediksi kejadian yang terkait dengan fenomena tertentu.
Model intuitif adalah model yang secara intuitif lebih mudah diterima atau dibayangkan. Sebagai contoh, model intuitif yang berasosiasi dengan penjumlahan adalah gabungan (union) beberapa himpunan yang saling disjoint. Model intuitif untuk perkalian yang mungkin dipandang sebagai penjumlahan berulang dapat dimodelkan serupa dengan model intuitif untuk penjumlahan, misalnya dengan menggabung beberapa himpunan yang memiliki banyak elemen sama.
Model intuitif dapat berupa representasi atau manipulasi dari realitas konkret. Sebagai contoh, untuk merepresentasikan besaran vektorial (misalnya gaya dalam pelajaran fisika), digunakan segmen garis berarah. Untuk merepresentasikan bilangan-bilangan bulat, 5, -3, 1, dan sebagainya, orang menggunakan garis bilangan dengan bilangan 0 diletakkan pada titik tertentu pada garis. Untuk menyelesaikan masalah kombinatorial, orang biasanya menggunakan diagram pohon.
Pada sisi lain, model intuitif tidak perlu berupa refleksi langsung dari realitas konkret. Sebagai contoh, grafik yang merepresentasikan sebuah fungsi merupakan model intuitif untuk fungsi, dan fungsi tersebut merupakan model abstrak dari sebuah fenomena tertentu. Konsep-konsep geometri seperti garis, segitiga, kubus, kerucut dan sebagainya, dapat direpresentasikan dengan menggunakan gambar atau benda-benda konkret lainnya. Jadi gambar atau benda-benda konkret merupakan model intuitif konsep-konsep geometri tersebut.
Model dapat dipandang dari kaitannya dengan sistem yang dimodelkan. Bilamana model dan sistem yang dimodelkan berada dalam dua sistem konseptual berbeda, kita menyebutnya model analogi. Sebagai contoh, seseorang memodelkan secara analogi aliran listrik dengan menggunakan aliran zat cair. Contoh yang disebutkan sebelumnya; misalnya, segmen garis berarah merupakan model analogi terhadap besaran vektorial.
Pada sisi lain, bilamana model termuat sebagai subkelas dari sistem yang dimodelkan, kita menyebutnya model paradigmatik. Sebagai contoh, seorang mahasiswa mempelajari sifat-sifat grup additif bilangan bulat, lalu menyimpulkan secara umum sifat-sifat grup sembarang himpunan. Bagi mahasiswa tersebut grup bilangan bulat merupakan model paradigmatik untuk grup sembarang himpunan. Contoh lainnya, biasanya seorang anak menganggap zat cair adalah air. Jadi air adalah model paradigmatik untuk zat cair.
Model-model intuitif, baik berupa model analogi maupun sebagai model paradigmatik, memainkan peranan fundamental dalam memproduksi proses berpikir. Sebuah model intuitif biasanya memberikan peluang lebih besar bagi seseorang mempelajari sistem yang dimodelkan dari pada mempelajarinya langsung dari sistemnya. Disamping itu, beberapa masalah biasanya lebih mudah diselesaikan di dalam model intuitif, dari pada menyelesaikan di dalam sistemnya sendiri.

KLASIFIKASI INTUISI

Poincare dan Bahm (Fischbein, 2002) menguraikan klasifikasi intuisi sebagai berikut. Pertama, Poincare mengklasifikasikan intuisi ke dalam (a) intuisi yang terkait dengan perasaan dan imajinasi, (b) intuisi yang diekspresikan dalam induksi empiris, dan (c) intuisi yang terkait dengan induksi matematika. Kedua, Bahm mengklasifikasikan intuisi ke dalam tiga tipe intuisi yaitu, (a) intuisi objektif (pemahaman segera pada situasi dunia di luar diri seseorang), (b) intuisi subjektif (pemahaman segera terhadap diri sendiri, dan (c) intuisi organik (pemahaman segera terhadap dunia luar dan diri sendiri secara serempak).
Dalam kaitan dengan pemahaman konsep dan pemecahan masalah matematika, Fischbein (2002) mengklasifikasikan intuisi, yaitu intuisi yang digolongkan kedalam intuisi yang bersifat affirmatory, conjectural, anticipatory, dan conclusive.
Intuisi Affirmatory
Intuisi affirmatory adalah representasi atau interpretasi dari berbagai fakta yang diterima sebagai suatu ketertentuan, dianggap benar atau terbukti dengan sendirinya, dan konsisten dengan sendirinya. Intuisi affirmatory bersifat menegaskan suatu representasi atau interpretasi. Sebagai contoh, dua buah titik menentukan sebuah garis lurus, dianggap orang sebagai pernyataan yang terbukti dengan sendirinya. Orang cenderung menganggap bahwa pernyataan tersebut tidak perlu dibuktikan.
Intuisi affirmatory dapat diklasifikasikan ke dalam intuisi affirmatory semantik, intuisi affirmatory relasional, dan intuisi affirmatory inferensial. Intuisi affirmatory semantik adalah intuisi seseorang ketika memberi makna sebuah konsep. Sebagai contoh, konsep titik sebagai unsur yang tidak didefinisikan dalam sistem geometri dan konsep garis lurus yang eksistensinya dinyatakan tunggal dari dua buah titik, mungkin tidak memiliki makna intuitif bagi seseorang, tetapi titik dan garis lurus  memiliki beberapa makna intuitif. Titik dapat direpresentasikan sebagai potongan kecil sesuatu, atau sebagai penanda suatu tempat dalam peta. Dilain pihak, garis lurus memiliki makna intuitif sebagai jarak terpendek antara dua buah titik, atau bermakna sebagai grafik fungsi linier.
Intuisi affirmatory relasional adalah intuisi seseorang ketika merepresentasikan atau menginterpretasikan kaitan antara dua atau lebih konsep. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan atau menerima sebuah pernyataan relasional. Pernyataan tersebut mungkin sama dengan sebuah teorema atau mungkin juga sebuah pernyataan yang salah. Sebagai contoh, seseorang menyatakan atau menerima pernyataan bahwa keseluruhan lebih besar dari bagian-bagiannya (keseluruhan dibandingkan dengan bagian-bagiannya). Contoh lain, seseorang menyimpulkan bahwa representasi bilangan “0,999...“ bukanlah representasi lain dari bilangan “1,” (membandingkan atau menyatakan hubungan antara 0,999...dengan 1) sebab baginya bilangan yang pertama tidak mungkin sama dengan 1, tetapi selalu lebih kecil dari 1. Pernyataan-pernyataan ini bersifat self-evident, self-consisten bagi orang tersebut, meskipun ia menyatakan pernyataan salah.
Intuisi affirmatory inferensial adalah intuisi seseorang ketika menyimpulkan sesuatu, baik secara induktif maupun secara deduktif. Sesudah menemukan bahwa sejumlah elemen dalam sebuah himpunan memiliki sifat yang tertentu sama, orang cenderung membuat generalisasi secara induktif dan menegaskan bahwa himpunan tersebut juga memiliki sifat tersebut. Hal ini bukanlah sekedar operasi logika, tetapi suatu intuisi. Menurut Poincare (1920), generalisasi secara induktif adalah salah satu kategori dasar intuisi.
Selanjutnya, bilamana orang diberikan himpunan-himpunan A, B, dan C, serta pernyataan A=B dan B=C, orang dapat menyimpulkan langsung secara deduktif bahwa A=C.   Contoh lainnya diberikan oleh Poincare (1920), “jika pada suatu garis lurus, titik C terletak diantara titik A dan B, dan titik D terletak diantara titik A dan C maka titik D terletak diantara titik A dan B.” Cara menyimpulkan bahwa titik D terletak diantara titik A dan B bagi seseorang, mungkin tidak ditunjukkan melalui bukti matematik (misalnya dengan menggunakan sifat urutan), tetapi ia memperolehnya secara intuitif  dengan membayangkan letak titik-titik A, B, C, dan D pada garis tersebut.
Contoh lainnya , fungsi kontinu pada sebuah interval tertutup dalam bidang XOY, yang bernilai positif pada titik ujung kiri interval dan bernilai negatif pada titik ujung lainnya; masuk akal bagi seseorang menyatakan bahwa fungsi tersebut bernilai 0 (nol) pada sebuah titik interior interval tersebut. Meskipun pernyataan ini dapat diformulasi menjadi teorema dan juga dapat dibuktikan, orang memang mudah membayangkan bahwa grafik fungsi kontinu tersebut pasti memotong sumbu X, dan meyakini bahwa pernyataan tersebut benar.
Intuisi Conjectural
Intuisi conjectural merupakan representasi atau interpretasi seseorang secara alami tentang kejadian berikutnya. Conjecture merupakan intuisi, hanya jika seseorang merasa percaya (memiliki feeling of confidence) atas kebenaran representasi atau interpretasinya.
Terdapat perbedaan antara seorang awam dengan seorang profesional dalam bidang tertentu menggunakan intuisi conjectural.  Orang awam menyandarkan dugaan hanya berdasar pada pengalaman sehari-hari. Seorang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang investasi, mungkin merasa yakin berkata, “saya akan menginvestasikan uang saya dalam bisnis ini. Saya yakin sukses.” Contoh lainnya; seorang mengatakan “dari apa yang dikatakan Anto tentang masalah keluarganya, saya yakin ia akan meninggalkan kota ini.”
Berbeda dengan orang awam, para profesional dengan kekayaan pengalaman dalam domain tertentu, mengembangkan keahlian khusus dalam menduga sesuatu terkait dengan aktivitas profesionalnya. Seorang guru, hanya dengan beberapa kali mengajar matematika pada sebuah kelas, mungkin dapat menduga bahwa beberapa muridnya dapat diandalkan berkompetisi dalam olimpiade matematika. Seorang dokter dengan hanya melihat selintas kondisi seorang pasien, mungkin dapat menduga jenis penyakit yang diderita pasien tersebut.
Para profesional; dokter, guru, dosen, atau peneliti mungkin mengambil keputusan terkait dengan bidang profesionalnya hanya dengan alasan yang berdasar pada sedikit informasi. Para profesional memiliki kapasitas atau keahlian mengubah informasi ke aspek yang relevan, melalui evaluasi secara umum yang kelihatannya mengaburkan bagi orang awam. Hal-hal ini mereka dapat lakukan secara otomatis, sebelum analisis lengkap dilakukan.

Intuisi Anticipatory dan Intuisi Conclusive
Fischbein (1982, 1983, 1999) menyatakan bahwa terdapat intuisi yang digunakan orang dalam aktivitas pemecahan masalah, yaitu intuisi anticipatory dan intuisi conlusive.
Intuisi anticipatory  merupakan aktivitas mental yang berlangsung ketika subjek berusaha menyelesaian masalah dan penyelesaiannya tidak secara langsung dapat diperoleh. Intuisi anticipatory  merepresentasikan pandangan global, dugaan, klaim awal, dalam sebuah pemecahan masalah, mendahului bukti formal atau bukti analitik.
Apa yang membedakan intuisi affirmatory dan intuisi anticipatory? Melalui intuisi affirmatory, orang menerima secara self-evident suatu pernyataan atau suatu interpretasi. Pada  intuisi anticipatory, fakta-fakta yang diamati, tidak dengan segera menghasilkan sebuah pernyataan atau interpretasi. Pernyataan atau interpretasi muncul sebagai sebuah penemuan (discovery), sebagai solusi masalah, atau sebagai interpretasi,  atau klaim tiba-tiba dari upaya penyelesaian masalah sebelumnya.
Apa yang membedakan intuisi conjectural dan intuisi anticipatory? Intuisi anticipatory merepresentasikan suatu fase dalam proses pemecahan masalah (mungkin diikuti dengan upaya pemecahan masalah secara analitik), tetapi pada sisi lain, intuisi conjectural lebih-kurang merupakan evaluasi atau prediksi yang tidak termuat secara eksplisit dalam sistematika pemecahan masalah. Perbedaan ini tidaklah bersifat mutlak, sebab aktivitas pemecahan masalah mungkin memuat rangkaian prediksi atau klaim tertentu untuk sampai pada penyelesaian masalah.
Di dalam intuisi anticipatory, secara umum terdapat kebutuhan akan ketertentuan, kebutuhan akan pembenaran sebuah ide, klaim, atau representasi melalui kontrol bukti, meskipun tidak secara subjektif dirasakan. Dalam hal ini, biasanya memunculkan suatu konfrontasi antara ketertentuan secara intrinsic (subjek merasa hal tersebut benar) dan keharusan akan suatu verifikasi atau pembuktian.
Intuisi conclusive merupakan upaya meringkas secara umum, ide dasar penyelesaian masalah yang sebelumnya telah ditekuni. Hal ini dapat terlihat, setelah sejumlah klaim atau prediksi dibuat, orang lalu menyusunnya kembali ke dalam suatu bentuk peta atau alur penyelesaian masalah.

PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK INTUISI

Intuisi adalah sebuah kata yang hampir semua orang pernah mengatakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering menggunakan kata intuisi. Ada yang memaknai intuisi sebagai angan-angan atau imajinasi, ada yang mengartikan intuisi sebagai perasaan, ada yang menyatakan bahwa intuisi serupa dengan feeling, dan banyak lagi pengertian intuisi yang dapat ditelusuri dalam percakapan kita sehari-hari dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, intuisi dipahami secara beragam dan tidak ada kesepakatan umum terhadap pengertian intuisi tersebut.
Sejak dahulu, para ahli memandang istilah intuisi dengan pandangan berbeda. Dalam literatur yang ditelusuri penulis, terlihat bahwa para filosof dan para psikolog juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap intuisi. Para ahli filsafat memandang intuisi sebagai rasional dan superior terhadap berpikir analitik, beberapa ahli filsafat memandang intuisi bersifat tidak pernah salah (infallible). Ahli filsafat; Bergson (Henden.G, 2004) membedakan antara intuisi dengan penalaran analitik. Menurutnya, kedua istilah tersebut tidak memiliki sistem kognitif yang berbeda, tapi merupakan dua sisi dalam aktivitas berpikir.  Dalam bidang psikologi, psikolog Jung menyatakan bahwa intuisi adalah salah satu fungsi kognitif diantara tiga fungsi lainnya, yaitu: thinking, feeling, dan sensation (Henden.G, 2004). Beberapa ahli psikologi memandang intuisi berfungsi paralel dengan berpikir analitik dan hasil intuisi bisa saja salah. Demikian pula diantara para ahli terdapat perbedaan pandangan terhadap intuisi; ada yang memandang intuisi sebagai produk dari pengalaman dan penalaran, sedangkan ahli-ahli lainnya berpendapat bahwa intuisi bukan produk dari pengalaman dan/atau dipandang sebagai penalaran yang sifatnya implisit (berfungsi tanpa disadari oleh orang yang melakukannya). Dalam Zeev dan Star (2002), ahli matematika, Hadamard, menyatakan bahwa intuisi merupakan cara untuk memahami bukti dan konseptualisasi.
Westcott (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa “The question of what exactly intuition is, in general, is relevant to a variety of domains, including philosophy, mathematics, psychology, and education.” Ini menunjukkan bahwa istilah intuisi dapat ditemukan pembahasannya pada masing-masing bidang kajian tersebut. Masing-masing bidang memberikan pandangan yang sesuai dengan perspektif bidang masing-masing.
Apakah intuisi itu? Pengertian intuisi dapat diperoleh dengan sangat melimpah, baik dari kamus, dari makalah-makalah hasil penelitian yang memuat istilah intuisi yang dirujuk dari pandangan-pandangan ahli, dan dari buku-buku yang khusus membahas intuisi.
Uraian berikut menyajikan beberapa pengertian intuisi yang diperoleh dari beberapa sumber yaitu, (1) pengertian intuisi dari beberapa kamus, (2) pengertian Intuisi berdasarkan pandangan ahli filsafat dan ahli psikologi, dan (3) pengertian intuisi berdasarkan pandangan intuitionis klasik dan intuitionis inferensial.

Pengertian Intuisi yang Diperoleh dari Kamus
Di dalam kamus on-line Wikipedia, (http://en.wikipedia.org/wiki/Intuition)  intuisi didefinisikan sebagai kemampuan nyata untuk memperoleh pengetahuan tanpa menggunakan inferensi atau penalaran (apparent ability to acquire knowledge without inference or the use of reason). Dalam kamus ini juga dinyatakan bahwa kata intuisi (intuition) berasal dari bahasa latin intueri, yang dimaknai sebagai melihat ke dalam atau merenungkan. Intuisi memberikan kepercayaan bahwa kita tidak perlu memberi jastifikasi/pembenaran atas suatu hasil intuisi. Kita percaya bahwa hasil intuisi senantiasa benar.
Di dalam kamus on-line lainnya, disajikan cukup berlimpah definisi intuisi, misalnya, Hiponoetics Glossary (http:// www. hyponoesis. org/ html/ glossary/ intuit. html) menyediakan definisi-definisi intuisi yang merujuk kepada kamus-kamus lainnya seperti, Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition, The Encyclopedia of Philosophy, Volume IV (Paul Edward, ed), A Dictionary of Philosophy dan beberapa kamus lainnya.
Di dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition intuisi didefinisikan sebagai pemahaman atau kognisi segera (immediate apprehension or cognition).
Di dalam The Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman segera (immediate apprehension). Makna kata “segera (immediate)” adalah tidak membutuhkan inferensi, tidak membutuhkan/memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan (ability) mendefinisikan istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran/jastifikasi, tidak membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali.
Di dalam Dictionary of Psychology (by Arthur S. Reber), intuisi didefinisikan sebagai sebuah cara memahami atau mengetahui yang bersifat langsung dan segera dan terjadi tanpa kesadaran pemikiran atau pertimbangan (a mode of understanding or knowing characterized as direct and immediate and occurring without conscious thought or judgment).
Definisi intuisi yang disajikan dalam kamus on-line di atas menunjukkan bahwa pandangan terhadap intuisi cukup beragam; ada yang memandang intuisi sebagai sebuah kemampuan memperoleh pengetahuan, namun demikian, ada yang memandang intuisi sebagai proses pemahaman atau proses kognisi yang tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah-istilah yang terkait dengan pemahaman terhadap sesuatu. Pada sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa intuisi bersifat segera, tidak menggunakan inferensi dan hasilnya dianggap/diyakini benar sehingga orang yang mengguunakan intuisi merasa tidak perlu melakukan pembuktian atau jastifikasi.
Dari beberapa definisi intuisi yang dirujuk dari kamus tersebut, terlihat bahwa intuisi merupakan kognisi atau proses mental dalam memahami sesuatu, atau dalam menerima pengetahuan. Proses mental ini bersifat langsung, segera, dan tidak membutuhkan pembenaran atau jastifikasi.

Pengertian Intuisi Berdasarkan Pandangan Ahli
Penelusuran definisi intuisi dapat pula dilakukan pada beberapa pandangan ahli filsafat dan ahli psikologi. Kedua bentuk perbedaan pandangan mengenai intuisi akan diuraikan berikut ini.
Beberapa filosof dan psikolog memberikan pandangan mengenai pengertian intuisi didasarkan kepada perbedaan antara intuisi dengan proses mental lainnya. Berikut ini akan disajikan beberapa pengertian dan karakteristik intuisi menurut pandangan ahli-ahli filsafat dan ahli-ahli psikologi. Dalam penelusuran literature, penulis menemukan beberapa pandangan ahli filsafat mengenai pengertian intuisi. Beberapa pandangan ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles, Kant, serta Bergson akan disajikan berikut.
Filosof Plato dan Aristoteles (Henden.G., 2004) membedakan antara jenis berpikir inferensial yang prosesnya berlangsung selangkah demi selangkah (discursive thought) dan jenis berpikir yang prosesnya tidak berlangsung secara langkah demi langkah (non-discursive). Jenis berpikir yang terakhir disebut Plato dan Aristoteles sebagai intuisi. Keduanya merumuskan perbedaan proses berpikir tersebut dengan menganggap bahwa intuisi merupakan proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God’s thought). Intuisi dicirikan sebagai hasil berpikir yang: (1) tidak temporal (a-temporal) yaitu memiliki keputusan yang sulit berubah, (2) memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian objek (grasps all at once), (3) tidak bersifat proposisional (non-propositional), (4) tidak bersifat representasional (non – representational), dan (5) karena ia dipandang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God’s thought) maka intuisi dianggap tidak pernah salah (infallible). Pada sisi lain, berpikir discursive dicirikan sebagai hasil berpikir yang (1) bersifat temporal, (2) memandang bagian-bagian objek daripada keseluruhan objek, (3) bersifat proposisional, (4) bersifat representasional, dan (5) dapat menghasilkan kesimpulan salah (fallible).
Filosof Immanuel Kant (Henden.G., 2004) membangun pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta bersifat a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa sesuatu hal benar. Dapat dikatakan bahwa pertimbangan analitik relevan dengan discursive thinking yang dikarakterisasikan oleh Plato dan Aristoteles, yaitu: inferential, temporal, grasps object piecemeal, propositional, representational, dan fallible.. Kant juga menyatakan bahwa pertimbangan sintetik relevan dengan intuisi, dan dikatakan bahwa, hasil pertimbangan sintetik dikarakterisasikan oleh tidak adanya kontradiksi dalam diri orang yang menyatakannya.
Filosof Bergson (Henden.G, 2004) menyatakan bahwa berpikir memiliki dua sisi yang berlawanan arah. Jika berpikir bersifat discursive dan analytic quantitative perspective, maka jenis berpikir ini disebut intelek. Tetapi jika berpikir bersifat non-discursive atau qualitative perspective, maka jenis berpikir ini disebut intuisi. Menurut Bergson, karena intuisi bersifat non-discursive maka penalaran tidak memainkan perananan dalam intuisi.
Pada sisi lain, beberapa psikolog memberi pengertian intuisi sebagai berikut.
Hah Roh (2005) melakukan penelitian disertasi dengan judul “Intuitive Understanding Limit Concept” mendefinisikan pemahaman intuitif sebagai kognisi segera suatu konsep tanpa bukti secara ketat (rigorous proof).
Fujita, Jones dan Yamamoto (2004) yang memfokuskan penelitiannya pada peranan intuisi dalam pendidikan geometri, mendefinisikan intuisi secara khusus sesuai dengan konteks penelitiannya. Dikatakan, “It might be difficult to define ‘intuition’ precisely, but for the purposes of this paper we regard it as a skill to ‘see’ geometrical figures and solids, creating and manipulating them in the mind to solve problems in geometry.
Mario Bunge (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa intuisi merupakan penalaran (reason), yang memiliki karakteristik: catalytic inference, power of synthesis dan common sense. Catalytic inference adalah jalan pintas dari suatu proposisi ke proposisi lainnya, yaitu dengan suatu loncatan ke suatu konklusi secara cepat tanpa mempertimbangkan premis dan perantaranya. Power of synthesis merupakan kemampuan mengkombinasikan keheterogenan atau elemen-elemen yang terpencar ke dalam suatu keseluruhan keseragaman atau keharmonisan. Common sense adalah pertimbangan yang ditopang oleh pengetahuan umum (ordinary knowledge).
Westcott (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa konklusi yang berbasis kepada intuisi, secara khas dikarakterisasikan oleh informasi eksplisit yang sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk meraih konklusi tersebut (a conclusion based on intuition typically is characterized by less explicit information than is ordinarily required to reach that conclusion ). Sebagai contoh seseorang mengatakan “satu dan dua,” selanjutnya mengatakan “tiga dan berapa?” Orang lain yang mendengarkan mungkin mengatakan “empat” atau mungkin yang lainnya mengatakan “enam.” Namun demikian Westcott menyatakan bahwa subjek sebenarnya menggunakan informasi eksplisit yang ada dan dibutuhkan sebelum mencoba menyelesaikan suatu masalah; dan kemungkinan mereka dapat meraih penyelesaian yang akurat. Menurut Westcott, para pemikir intuitif yang sukses cenderung memiliki kecerdasan matematika yang tinggi pula dibanding lainnya.
Menurut Fischbein (1982, 1983, 1999) intuisi merupakan proses mental (kognisi) yang memiliki ciri-ciri tertentu. Fischbein menggunakan istilah intuisi ekivalen dengan pemerolehan pengetahuan intuitif; Intuisi dipandang sebagai suatu tipe kognisi. Pengetahuan yang dibangun melalui proses mental ini disebut pengetahuan intuitif. Intuisi didefinisikan sebagai kognisi segera (immediate cognition) dan berkarakteristik (1) direct, self-evident, (2) intrinsic certainty, (3) perseverance dan coerciveness, (4)  extrapolativeness, (5) global (globality) dan implisit (implicitness).
Makna karakteristik intuisi yang diungkapkan oleh Fischbein (1982, 1983, 1999) tersebut diuraikan sebagai berikut: Sifat self-evidence menunjukkan bahwa konklusi intuitif dianggap benar dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa kebenaran suatu konklusi intuitif tidak memerlukan jastifikasi. Sebagai contoh, seseorang menyimpulkan secara intuitif bahwa keseluruhan selalu lebih besar dari bagian-bagiannya, bahwa setiap bilangan asli memiliki suksesor, bahwa dua titik selalu menentukan sebuah garis, ia merasa bahwa pernyataan-pernyataan ini benar dengan sendirinya tanpa perlu suatu jastifikasi. Karakeristik intuisi berikutnya adalah perseverance dan coerciveness. Menurut Fischbein, sekali intuisi dibangun, ia sangat kokoh atau stabil. Sebagai contoh, jika seorang anak menyimpulkan bahwa bilangan 0,999... lebih kecil dari 1, maka ia sangat sulit menerima prinsip bahwa kedua bilangan tersebut sama. Karakteristik intuisi; extrapolativeness bermakna bahwa melalui intuisi, orang menangkap secara umum sifat universal suatu prinsip, suatu relasi, suatu aturan melalui realitas khusus. Sebagai contoh jika seseorang membaca “Januari, Februari” maka ia dapat menebak secara benar bahwa berikutnya adalah kata “Maret,” meskipun aturan urutan kata-kata tersebut tidak diberikan. Karakteristik intuisi yang terakhir menurut Fischbein; globality dan implicitness. Fischbein menekankan bahwa intuisi merupakan pandangan global dan berlawanan kutub dengan berpikir analitik yang sifatnya discursive. Sifat global intuisi menunjukkan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian detailnya. Selanjutnya, meskipun intuisi merupakan hasil seleksi, globalisasi dan inferensi, intuisi ditampilkan secara implisit, yaitu langkah-langkah inferensi tidak dinyatakan melalui langkah demi langkah (step by step).
Jones (1998) mendefinisikan intuisi dalam tulisannya yang berjudul  Deductive and Intuitive Approaches to Solving Geometrical Problems, merujuk kepada definisi intuisi yang ditulis oleh Fischbein, yaitu  intuition as a special type of cognition, characterised by self-evidence and immediacy, and with the following properties: intrinsic certainty, perseverance, coerciveness, theory status, extrapolativeness, globality, and implicitness.

Pengertian Intuisi Menurut Intuitionis Klasik dan Intuitionis Inferensial
Dalam penelusuran literatur, terkait dengan pandangan mengenai intuisi dan belajar matematika, ditemukan bahwa pengertian intuisi matematika bergantung kepada dua pandangan, yaitu pengertian intuisi matematika dalam pandangan intuitionis klasik dan dalam pandangan intuitionis inferensial.
Pertanyaan yang mendasari munculnya dua kelompok dalam pandangan berbeda terhadap intuisi, yaitu intuitionis klasik dan intuitionis inferensial, adalah bagaimana intuisi matematika itu? Apakah intuisi matematika adalah hasil penalaran atau bukan? Berikut diuraikan pandangan masing-masing kelompok pandangan tersebut.
Pandangan intuitionis klasik. Ide utama yang mendasari pandangan intuitionis klasik adalah bahwa intuisi matematika terpisah dari penalaran formal; yaitu, siswa merepresentasikan masalah matematika dalam cara bahwa jawaban menjadi jelas dengan sendirinya dan seketika, tanpa perlu jastifikasi atau analisis formal. Pandangan ini dapat ditelusuri dalam perkembangan filsafat tentang “intuitisme klasikal” di mana filosof seperti Spinoza dan Bergson berargumentasi bahwa penalaran tidak memainkan peranan dalam intuisi (Zeev dan Star, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa, intutionis klasik memandang intuisi sebagai “a special contact with prime reality, producing a sense of ultimate unity, true beauty, perfect certainty, and blessedness.  Menurut pandangan ini intuisi bersifat antithetical to reason. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat diverifikasi, diacu, atau benar-benar dipahami secara intelektual. Pengetahuan intuitif tidak praktikal atau tidak dapat diaplikasikan. Ia dipandang a priori dan tidak bergantung kepada pengetahuan sebelumnya.
Beberapa konseptualisasi yang lebih modern dalam psikologi dan pendidikan juga mencakup pandangan yang serupa tentang intuisi. Sebagai contoh, Resnick (1986) memandang intuisi matematika sebagai cognitive primitives that can function without formal mathematical analysis. Serupa dengan itu, Dixon dan Moore (1996) mendefinisikan pemahaman intuitif terhadap suatu masalah (masalah matematika) sebagai representasi berbeda dari representasi suatu prosedur formal dalam penyelesaian masalah. Dreyfus dan Eisenberg (1982) mendefinisikan intuisi matematika sebagai mental representations of facts that appear to be self evident. Mereka mengoperasionalkan penggunaan intuisi matematika sebagai kemampuan menyelesaikan masalah meskipun tidak dilakukan melalui pengajaran matematika formal dalam suatu topik. Selanjutnya, Fischbein dan koleganya (Fischbein, Tirosh, & Melamed, 1981) mendefinisikan intuitive acceptance sebagai the act of accepting a certain solution or interpretation directly without explicit or detailed justification.
Bagaimana intuisi berawal? Kita dapat menduga bahwa intuisi berawal tidak diperoleh melalui sekolah atau tutorial tetapi merupakan bawaan. Sebagai contoh, Rochel Gelman dan koleganya (Zeev dan Star, 2002) menggambarkan bahwa intuisi merupakan sekumpulan  tentang apa yang mereka percaya, salah satunya adalah prinsip menghitung yang merupakan bawaan sejak manusia lahir. Peneliti lain, seperti Wynn (1995) berpendapat bahwa bayi memiliki kemampuan merepresentasikan bilangan secara mental. Lebih jauh studi yang dilakukan Wynn menunjukkan bahwa bayi cenderung memandang kesalahan secara numerik dari pada mengoreksi hasil perhitungan aritmetika sederhana. Wynn berpendapat bahwa temuan ini menunjukkan bahwa bayi dapat melakukan komputasi sederhana bilangan bulat positip dan merupakan fondasi komputasi numerik yang dimiliki bayi.
Pandangan intuitionis inferensial. Pandangan intuitionist inferensial berbeda secara radikal dengan pandangan intuitionist klasik. Ide utama yang mendasari pendekatan intuitionist inferensial adalah bahwa intuisi bukan suatu mekanisme khusus tetapi bentuk penalaran yang dipandu oleh interaksi orang dengan lingkungan. Pandangan ini sesuai dengan pandangan filosof seperti Ewing dan Bunge (Zeev dan Star, 2002) yang menyatakan intuisi merupakan produk penalaran dan pengalaman belajar sebelumnya. Selanjutnya, Bunge menyatakan bahwa intuisi adalah hipotesis yang diuji orang dengan melakukan pertimbangan probabilistik.
Contoh dari pandangan seperti ini dalam literatur pendidikan dapat dilihat dalam Fischbein (1982). Fischbein berpendapat bahwa feeling yang tiba-tiba, keterpaduan, dan kepercayaan tentang penyelesaian matematika mungkin sebagai hasil dari mini-theory atau model yang mendukung inferensi yang berbasis pada pengetahuan implisit. Dalam hal ini, proses yang memunculkan intuisi beroperasi secara diam-diam dan tanpa kesadaran, tetapi ia dipandang menjadi proses yang sama dengan proses yang mendukung penalaran matematika yang lebih eksplisit. Fischbein menyatakan bahwa melalui proses pelatihan dan familiarisasi, individu dapat mengembangkan intuisi baru. Jadi, dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa intuisi dapat dipelajari, diperoleh, dan dikembangkan.
Dari kedua pandangan terhadap intuisi (pandangan intuitionis klasik dan pandangan intuitionis inferensial) ditemukan perbedaan, bagaimana intuisi terkait dengan pengetahuan seseorang. Menurut pandangan intuitionis klasik, intuisi dibangun dari pengetahuan informal sehari-hari, misalnya intuisi anak pra-sekolah dalam melakukan perhitungan aritmetika sederhana seperti menghitung dan menjumlah. Pada sisi lain, dalam pandangan intuitionis inferensial, intuisi dibangun sebagai hasil dari pembelajaran atau pelatihan formal.
Hal-hal yang diungkap di atas mencerminkan adanya perbedaan dan kesamaan pandangan mengenai karakteristik dan pengertian intuisi. Plato misalnya, menyatakan bahwa intuisi merupakan hasil dari suatu proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir “Tuhan” (God’s thought) sehingga bersifat tidak pernah salah (infallible). Pada sisi lain, beberapa pandangan menunjukkan bahwa konklusi yang berbasis kepada intuisi bisa tidak benar (fallible). Hal ini dapat dilihat dalam pandangan bahwa intuisi bersifat Catalytic inference (Bunge dalam Zeev dan Star, 2002), intuisi dikarakterisasikan oleh informasi eksplisit yang sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk meraih konklusi (Westcott  dalam Zeev dan Star, 2002), dan intuisi sering melewati atau tidak memperhatikan data dalam merumuskan konklusi (Fischbein, 1982). Seorang ahli psikologi, Katherine Wild (Henden.G., 2004) telah menulis sejumlah paper mengenai intuisi, termasuk intuisi menurut pandangan para ahli filsafat dan ahli psikologi Katherin Wild menyatakan bahwa definisi intuisi yang umumnya digunakan para ahli-ahli tersebut adalah suatu ide untuk meraih suatu konklusi, suatu proses sintesis, suatu proses memformulasi, atau penyelesaian masalah tanpa kesadaran dari proses tersebut sehingga konklusi atau sintesis dicapai.
Disamping perbedaan pandangan tentang karakteristik intuisi, umumnya para ahli psikologi sepakat bahwa pernyataan, interpretasi atau konklusi yang berbasis kepada intuisi  merupakan keputusan “segera” (immediate) terhadap suatu situasi atau masalah, atau dengan kata lain, intuisi merupakan kognisi segera (immediate cognition).
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua kognisi segera merupakan intuisi. Persepsi merupakan aktivitas mental yang juga berlangsung segera. Sebagai contoh, seseorang dengan segera dapat menyimpulkan bahwa meja-meja didepannya berbeda ukurannya, berbeda warnanya, atau berbeda bentuknya. Ini adalah persepsi seseorang terhadap meja-meja tersebut. Contoh lainnya, bilamana diberikan dua garis berpotongan, seseorang dengan segera menyimpulkan bahwa sudut-sudut yang bertolak belakang pada garis yang berpotongan tersebut sama besar. Ini adalah persepsi orang tersebut terhadap besar sudut bertolak belakang pada garis berpotongan yang disajikan padanya. Persepsi adalah aktivitas mental untuk menghasilkan representasi atau interpretasi yang didasarkan pada penggunaan alat indera.
Pada sisi lain, meskipun sifat “segera” (immediacy) merupakan artribut untuk menunjukkan berlangsungnya intuisi seseorang, beberapa ahli psikologi seperti Babay, Levyadun, Stavy dan Tirosh (2006) menyatakan bahwa dalam konteks sains dan matematika, sejauh ini belum ada alat ukur empiris untuk mengukur sifat “segera” respon intuitif (so far no empirical measurement of the immediacy of intuitive responses has been carried out in the context of science and mathematics). Oleh karena itu, sangat sulit membuktikan bahwa seseorang menggunakan intuisi bilamana artribut ini (sifat immediacy dari intuisi) harus diukur untuk dijadikan salah satu dasar atau kriteria berlangsungnya intuisi seseorang. Hal tersebut akan dibahas lagi pada bagian berikutnya (subjudul H), dalam kaitan bagaimana mendefinisikan intuisi yang akan dirujuk dalam penelitian ini.