Minggu, 19 September 2010

PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK INTUISI

Intuisi adalah sebuah kata yang hampir semua orang pernah mengatakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering menggunakan kata intuisi. Ada yang memaknai intuisi sebagai angan-angan atau imajinasi, ada yang mengartikan intuisi sebagai perasaan, ada yang menyatakan bahwa intuisi serupa dengan feeling, dan banyak lagi pengertian intuisi yang dapat ditelusuri dalam percakapan kita sehari-hari dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, intuisi dipahami secara beragam dan tidak ada kesepakatan umum terhadap pengertian intuisi tersebut.
Sejak dahulu, para ahli memandang istilah intuisi dengan pandangan berbeda. Dalam literatur yang ditelusuri penulis, terlihat bahwa para filosof dan para psikolog juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap intuisi. Para ahli filsafat memandang intuisi sebagai rasional dan superior terhadap berpikir analitik, beberapa ahli filsafat memandang intuisi bersifat tidak pernah salah (infallible). Ahli filsafat; Bergson (Henden.G, 2004) membedakan antara intuisi dengan penalaran analitik. Menurutnya, kedua istilah tersebut tidak memiliki sistem kognitif yang berbeda, tapi merupakan dua sisi dalam aktivitas berpikir.  Dalam bidang psikologi, psikolog Jung menyatakan bahwa intuisi adalah salah satu fungsi kognitif diantara tiga fungsi lainnya, yaitu: thinking, feeling, dan sensation (Henden.G, 2004). Beberapa ahli psikologi memandang intuisi berfungsi paralel dengan berpikir analitik dan hasil intuisi bisa saja salah. Demikian pula diantara para ahli terdapat perbedaan pandangan terhadap intuisi; ada yang memandang intuisi sebagai produk dari pengalaman dan penalaran, sedangkan ahli-ahli lainnya berpendapat bahwa intuisi bukan produk dari pengalaman dan/atau dipandang sebagai penalaran yang sifatnya implisit (berfungsi tanpa disadari oleh orang yang melakukannya). Dalam Zeev dan Star (2002), ahli matematika, Hadamard, menyatakan bahwa intuisi merupakan cara untuk memahami bukti dan konseptualisasi.
Westcott (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa “The question of what exactly intuition is, in general, is relevant to a variety of domains, including philosophy, mathematics, psychology, and education.” Ini menunjukkan bahwa istilah intuisi dapat ditemukan pembahasannya pada masing-masing bidang kajian tersebut. Masing-masing bidang memberikan pandangan yang sesuai dengan perspektif bidang masing-masing.
Apakah intuisi itu? Pengertian intuisi dapat diperoleh dengan sangat melimpah, baik dari kamus, dari makalah-makalah hasil penelitian yang memuat istilah intuisi yang dirujuk dari pandangan-pandangan ahli, dan dari buku-buku yang khusus membahas intuisi.
Uraian berikut menyajikan beberapa pengertian intuisi yang diperoleh dari beberapa sumber yaitu, (1) pengertian intuisi dari beberapa kamus, (2) pengertian Intuisi berdasarkan pandangan ahli filsafat dan ahli psikologi, dan (3) pengertian intuisi berdasarkan pandangan intuitionis klasik dan intuitionis inferensial.

Pengertian Intuisi yang Diperoleh dari Kamus
Di dalam kamus on-line Wikipedia, (http://en.wikipedia.org/wiki/Intuition)  intuisi didefinisikan sebagai kemampuan nyata untuk memperoleh pengetahuan tanpa menggunakan inferensi atau penalaran (apparent ability to acquire knowledge without inference or the use of reason). Dalam kamus ini juga dinyatakan bahwa kata intuisi (intuition) berasal dari bahasa latin intueri, yang dimaknai sebagai melihat ke dalam atau merenungkan. Intuisi memberikan kepercayaan bahwa kita tidak perlu memberi jastifikasi/pembenaran atas suatu hasil intuisi. Kita percaya bahwa hasil intuisi senantiasa benar.
Di dalam kamus on-line lainnya, disajikan cukup berlimpah definisi intuisi, misalnya, Hiponoetics Glossary (http:// www. hyponoesis. org/ html/ glossary/ intuit. html) menyediakan definisi-definisi intuisi yang merujuk kepada kamus-kamus lainnya seperti, Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition, The Encyclopedia of Philosophy, Volume IV (Paul Edward, ed), A Dictionary of Philosophy dan beberapa kamus lainnya.
Di dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition intuisi didefinisikan sebagai pemahaman atau kognisi segera (immediate apprehension or cognition).
Di dalam The Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman segera (immediate apprehension). Makna kata “segera (immediate)” adalah tidak membutuhkan inferensi, tidak membutuhkan/memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan (ability) mendefinisikan istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran/jastifikasi, tidak membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali.
Di dalam Dictionary of Psychology (by Arthur S. Reber), intuisi didefinisikan sebagai sebuah cara memahami atau mengetahui yang bersifat langsung dan segera dan terjadi tanpa kesadaran pemikiran atau pertimbangan (a mode of understanding or knowing characterized as direct and immediate and occurring without conscious thought or judgment).
Definisi intuisi yang disajikan dalam kamus on-line di atas menunjukkan bahwa pandangan terhadap intuisi cukup beragam; ada yang memandang intuisi sebagai sebuah kemampuan memperoleh pengetahuan, namun demikian, ada yang memandang intuisi sebagai proses pemahaman atau proses kognisi yang tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah-istilah yang terkait dengan pemahaman terhadap sesuatu. Pada sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa intuisi bersifat segera, tidak menggunakan inferensi dan hasilnya dianggap/diyakini benar sehingga orang yang mengguunakan intuisi merasa tidak perlu melakukan pembuktian atau jastifikasi.
Dari beberapa definisi intuisi yang dirujuk dari kamus tersebut, terlihat bahwa intuisi merupakan kognisi atau proses mental dalam memahami sesuatu, atau dalam menerima pengetahuan. Proses mental ini bersifat langsung, segera, dan tidak membutuhkan pembenaran atau jastifikasi.

Pengertian Intuisi Berdasarkan Pandangan Ahli
Penelusuran definisi intuisi dapat pula dilakukan pada beberapa pandangan ahli filsafat dan ahli psikologi. Kedua bentuk perbedaan pandangan mengenai intuisi akan diuraikan berikut ini.
Beberapa filosof dan psikolog memberikan pandangan mengenai pengertian intuisi didasarkan kepada perbedaan antara intuisi dengan proses mental lainnya. Berikut ini akan disajikan beberapa pengertian dan karakteristik intuisi menurut pandangan ahli-ahli filsafat dan ahli-ahli psikologi. Dalam penelusuran literature, penulis menemukan beberapa pandangan ahli filsafat mengenai pengertian intuisi. Beberapa pandangan ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles, Kant, serta Bergson akan disajikan berikut.
Filosof Plato dan Aristoteles (Henden.G., 2004) membedakan antara jenis berpikir inferensial yang prosesnya berlangsung selangkah demi selangkah (discursive thought) dan jenis berpikir yang prosesnya tidak berlangsung secara langkah demi langkah (non-discursive). Jenis berpikir yang terakhir disebut Plato dan Aristoteles sebagai intuisi. Keduanya merumuskan perbedaan proses berpikir tersebut dengan menganggap bahwa intuisi merupakan proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God’s thought). Intuisi dicirikan sebagai hasil berpikir yang: (1) tidak temporal (a-temporal) yaitu memiliki keputusan yang sulit berubah, (2) memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian objek (grasps all at once), (3) tidak bersifat proposisional (non-propositional), (4) tidak bersifat representasional (non – representational), dan (5) karena ia dipandang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God’s thought) maka intuisi dianggap tidak pernah salah (infallible). Pada sisi lain, berpikir discursive dicirikan sebagai hasil berpikir yang (1) bersifat temporal, (2) memandang bagian-bagian objek daripada keseluruhan objek, (3) bersifat proposisional, (4) bersifat representasional, dan (5) dapat menghasilkan kesimpulan salah (fallible).
Filosof Immanuel Kant (Henden.G., 2004) membangun pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta bersifat a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa sesuatu hal benar. Dapat dikatakan bahwa pertimbangan analitik relevan dengan discursive thinking yang dikarakterisasikan oleh Plato dan Aristoteles, yaitu: inferential, temporal, grasps object piecemeal, propositional, representational, dan fallible.. Kant juga menyatakan bahwa pertimbangan sintetik relevan dengan intuisi, dan dikatakan bahwa, hasil pertimbangan sintetik dikarakterisasikan oleh tidak adanya kontradiksi dalam diri orang yang menyatakannya.
Filosof Bergson (Henden.G, 2004) menyatakan bahwa berpikir memiliki dua sisi yang berlawanan arah. Jika berpikir bersifat discursive dan analytic quantitative perspective, maka jenis berpikir ini disebut intelek. Tetapi jika berpikir bersifat non-discursive atau qualitative perspective, maka jenis berpikir ini disebut intuisi. Menurut Bergson, karena intuisi bersifat non-discursive maka penalaran tidak memainkan perananan dalam intuisi.
Pada sisi lain, beberapa psikolog memberi pengertian intuisi sebagai berikut.
Hah Roh (2005) melakukan penelitian disertasi dengan judul “Intuitive Understanding Limit Concept” mendefinisikan pemahaman intuitif sebagai kognisi segera suatu konsep tanpa bukti secara ketat (rigorous proof).
Fujita, Jones dan Yamamoto (2004) yang memfokuskan penelitiannya pada peranan intuisi dalam pendidikan geometri, mendefinisikan intuisi secara khusus sesuai dengan konteks penelitiannya. Dikatakan, “It might be difficult to define ‘intuition’ precisely, but for the purposes of this paper we regard it as a skill to ‘see’ geometrical figures and solids, creating and manipulating them in the mind to solve problems in geometry.
Mario Bunge (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa intuisi merupakan penalaran (reason), yang memiliki karakteristik: catalytic inference, power of synthesis dan common sense. Catalytic inference adalah jalan pintas dari suatu proposisi ke proposisi lainnya, yaitu dengan suatu loncatan ke suatu konklusi secara cepat tanpa mempertimbangkan premis dan perantaranya. Power of synthesis merupakan kemampuan mengkombinasikan keheterogenan atau elemen-elemen yang terpencar ke dalam suatu keseluruhan keseragaman atau keharmonisan. Common sense adalah pertimbangan yang ditopang oleh pengetahuan umum (ordinary knowledge).
Westcott (Zeev dan Star, 2002) menyatakan bahwa konklusi yang berbasis kepada intuisi, secara khas dikarakterisasikan oleh informasi eksplisit yang sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk meraih konklusi tersebut (a conclusion based on intuition typically is characterized by less explicit information than is ordinarily required to reach that conclusion ). Sebagai contoh seseorang mengatakan “satu dan dua,” selanjutnya mengatakan “tiga dan berapa?” Orang lain yang mendengarkan mungkin mengatakan “empat” atau mungkin yang lainnya mengatakan “enam.” Namun demikian Westcott menyatakan bahwa subjek sebenarnya menggunakan informasi eksplisit yang ada dan dibutuhkan sebelum mencoba menyelesaikan suatu masalah; dan kemungkinan mereka dapat meraih penyelesaian yang akurat. Menurut Westcott, para pemikir intuitif yang sukses cenderung memiliki kecerdasan matematika yang tinggi pula dibanding lainnya.
Menurut Fischbein (1982, 1983, 1999) intuisi merupakan proses mental (kognisi) yang memiliki ciri-ciri tertentu. Fischbein menggunakan istilah intuisi ekivalen dengan pemerolehan pengetahuan intuitif; Intuisi dipandang sebagai suatu tipe kognisi. Pengetahuan yang dibangun melalui proses mental ini disebut pengetahuan intuitif. Intuisi didefinisikan sebagai kognisi segera (immediate cognition) dan berkarakteristik (1) direct, self-evident, (2) intrinsic certainty, (3) perseverance dan coerciveness, (4)  extrapolativeness, (5) global (globality) dan implisit (implicitness).
Makna karakteristik intuisi yang diungkapkan oleh Fischbein (1982, 1983, 1999) tersebut diuraikan sebagai berikut: Sifat self-evidence menunjukkan bahwa konklusi intuitif dianggap benar dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa kebenaran suatu konklusi intuitif tidak memerlukan jastifikasi. Sebagai contoh, seseorang menyimpulkan secara intuitif bahwa keseluruhan selalu lebih besar dari bagian-bagiannya, bahwa setiap bilangan asli memiliki suksesor, bahwa dua titik selalu menentukan sebuah garis, ia merasa bahwa pernyataan-pernyataan ini benar dengan sendirinya tanpa perlu suatu jastifikasi. Karakeristik intuisi berikutnya adalah perseverance dan coerciveness. Menurut Fischbein, sekali intuisi dibangun, ia sangat kokoh atau stabil. Sebagai contoh, jika seorang anak menyimpulkan bahwa bilangan 0,999... lebih kecil dari 1, maka ia sangat sulit menerima prinsip bahwa kedua bilangan tersebut sama. Karakteristik intuisi; extrapolativeness bermakna bahwa melalui intuisi, orang menangkap secara umum sifat universal suatu prinsip, suatu relasi, suatu aturan melalui realitas khusus. Sebagai contoh jika seseorang membaca “Januari, Februari” maka ia dapat menebak secara benar bahwa berikutnya adalah kata “Maret,” meskipun aturan urutan kata-kata tersebut tidak diberikan. Karakteristik intuisi yang terakhir menurut Fischbein; globality dan implicitness. Fischbein menekankan bahwa intuisi merupakan pandangan global dan berlawanan kutub dengan berpikir analitik yang sifatnya discursive. Sifat global intuisi menunjukkan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian detailnya. Selanjutnya, meskipun intuisi merupakan hasil seleksi, globalisasi dan inferensi, intuisi ditampilkan secara implisit, yaitu langkah-langkah inferensi tidak dinyatakan melalui langkah demi langkah (step by step).
Jones (1998) mendefinisikan intuisi dalam tulisannya yang berjudul  Deductive and Intuitive Approaches to Solving Geometrical Problems, merujuk kepada definisi intuisi yang ditulis oleh Fischbein, yaitu  intuition as a special type of cognition, characterised by self-evidence and immediacy, and with the following properties: intrinsic certainty, perseverance, coerciveness, theory status, extrapolativeness, globality, and implicitness.

Pengertian Intuisi Menurut Intuitionis Klasik dan Intuitionis Inferensial
Dalam penelusuran literatur, terkait dengan pandangan mengenai intuisi dan belajar matematika, ditemukan bahwa pengertian intuisi matematika bergantung kepada dua pandangan, yaitu pengertian intuisi matematika dalam pandangan intuitionis klasik dan dalam pandangan intuitionis inferensial.
Pertanyaan yang mendasari munculnya dua kelompok dalam pandangan berbeda terhadap intuisi, yaitu intuitionis klasik dan intuitionis inferensial, adalah bagaimana intuisi matematika itu? Apakah intuisi matematika adalah hasil penalaran atau bukan? Berikut diuraikan pandangan masing-masing kelompok pandangan tersebut.
Pandangan intuitionis klasik. Ide utama yang mendasari pandangan intuitionis klasik adalah bahwa intuisi matematika terpisah dari penalaran formal; yaitu, siswa merepresentasikan masalah matematika dalam cara bahwa jawaban menjadi jelas dengan sendirinya dan seketika, tanpa perlu jastifikasi atau analisis formal. Pandangan ini dapat ditelusuri dalam perkembangan filsafat tentang “intuitisme klasikal” di mana filosof seperti Spinoza dan Bergson berargumentasi bahwa penalaran tidak memainkan peranan dalam intuisi (Zeev dan Star, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa, intutionis klasik memandang intuisi sebagai “a special contact with prime reality, producing a sense of ultimate unity, true beauty, perfect certainty, and blessedness.  Menurut pandangan ini intuisi bersifat antithetical to reason. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat diverifikasi, diacu, atau benar-benar dipahami secara intelektual. Pengetahuan intuitif tidak praktikal atau tidak dapat diaplikasikan. Ia dipandang a priori dan tidak bergantung kepada pengetahuan sebelumnya.
Beberapa konseptualisasi yang lebih modern dalam psikologi dan pendidikan juga mencakup pandangan yang serupa tentang intuisi. Sebagai contoh, Resnick (1986) memandang intuisi matematika sebagai cognitive primitives that can function without formal mathematical analysis. Serupa dengan itu, Dixon dan Moore (1996) mendefinisikan pemahaman intuitif terhadap suatu masalah (masalah matematika) sebagai representasi berbeda dari representasi suatu prosedur formal dalam penyelesaian masalah. Dreyfus dan Eisenberg (1982) mendefinisikan intuisi matematika sebagai mental representations of facts that appear to be self evident. Mereka mengoperasionalkan penggunaan intuisi matematika sebagai kemampuan menyelesaikan masalah meskipun tidak dilakukan melalui pengajaran matematika formal dalam suatu topik. Selanjutnya, Fischbein dan koleganya (Fischbein, Tirosh, & Melamed, 1981) mendefinisikan intuitive acceptance sebagai the act of accepting a certain solution or interpretation directly without explicit or detailed justification.
Bagaimana intuisi berawal? Kita dapat menduga bahwa intuisi berawal tidak diperoleh melalui sekolah atau tutorial tetapi merupakan bawaan. Sebagai contoh, Rochel Gelman dan koleganya (Zeev dan Star, 2002) menggambarkan bahwa intuisi merupakan sekumpulan  tentang apa yang mereka percaya, salah satunya adalah prinsip menghitung yang merupakan bawaan sejak manusia lahir. Peneliti lain, seperti Wynn (1995) berpendapat bahwa bayi memiliki kemampuan merepresentasikan bilangan secara mental. Lebih jauh studi yang dilakukan Wynn menunjukkan bahwa bayi cenderung memandang kesalahan secara numerik dari pada mengoreksi hasil perhitungan aritmetika sederhana. Wynn berpendapat bahwa temuan ini menunjukkan bahwa bayi dapat melakukan komputasi sederhana bilangan bulat positip dan merupakan fondasi komputasi numerik yang dimiliki bayi.
Pandangan intuitionis inferensial. Pandangan intuitionist inferensial berbeda secara radikal dengan pandangan intuitionist klasik. Ide utama yang mendasari pendekatan intuitionist inferensial adalah bahwa intuisi bukan suatu mekanisme khusus tetapi bentuk penalaran yang dipandu oleh interaksi orang dengan lingkungan. Pandangan ini sesuai dengan pandangan filosof seperti Ewing dan Bunge (Zeev dan Star, 2002) yang menyatakan intuisi merupakan produk penalaran dan pengalaman belajar sebelumnya. Selanjutnya, Bunge menyatakan bahwa intuisi adalah hipotesis yang diuji orang dengan melakukan pertimbangan probabilistik.
Contoh dari pandangan seperti ini dalam literatur pendidikan dapat dilihat dalam Fischbein (1982). Fischbein berpendapat bahwa feeling yang tiba-tiba, keterpaduan, dan kepercayaan tentang penyelesaian matematika mungkin sebagai hasil dari mini-theory atau model yang mendukung inferensi yang berbasis pada pengetahuan implisit. Dalam hal ini, proses yang memunculkan intuisi beroperasi secara diam-diam dan tanpa kesadaran, tetapi ia dipandang menjadi proses yang sama dengan proses yang mendukung penalaran matematika yang lebih eksplisit. Fischbein menyatakan bahwa melalui proses pelatihan dan familiarisasi, individu dapat mengembangkan intuisi baru. Jadi, dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa intuisi dapat dipelajari, diperoleh, dan dikembangkan.
Dari kedua pandangan terhadap intuisi (pandangan intuitionis klasik dan pandangan intuitionis inferensial) ditemukan perbedaan, bagaimana intuisi terkait dengan pengetahuan seseorang. Menurut pandangan intuitionis klasik, intuisi dibangun dari pengetahuan informal sehari-hari, misalnya intuisi anak pra-sekolah dalam melakukan perhitungan aritmetika sederhana seperti menghitung dan menjumlah. Pada sisi lain, dalam pandangan intuitionis inferensial, intuisi dibangun sebagai hasil dari pembelajaran atau pelatihan formal.
Hal-hal yang diungkap di atas mencerminkan adanya perbedaan dan kesamaan pandangan mengenai karakteristik dan pengertian intuisi. Plato misalnya, menyatakan bahwa intuisi merupakan hasil dari suatu proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir “Tuhan” (God’s thought) sehingga bersifat tidak pernah salah (infallible). Pada sisi lain, beberapa pandangan menunjukkan bahwa konklusi yang berbasis kepada intuisi bisa tidak benar (fallible). Hal ini dapat dilihat dalam pandangan bahwa intuisi bersifat Catalytic inference (Bunge dalam Zeev dan Star, 2002), intuisi dikarakterisasikan oleh informasi eksplisit yang sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk meraih konklusi (Westcott  dalam Zeev dan Star, 2002), dan intuisi sering melewati atau tidak memperhatikan data dalam merumuskan konklusi (Fischbein, 1982). Seorang ahli psikologi, Katherine Wild (Henden.G., 2004) telah menulis sejumlah paper mengenai intuisi, termasuk intuisi menurut pandangan para ahli filsafat dan ahli psikologi Katherin Wild menyatakan bahwa definisi intuisi yang umumnya digunakan para ahli-ahli tersebut adalah suatu ide untuk meraih suatu konklusi, suatu proses sintesis, suatu proses memformulasi, atau penyelesaian masalah tanpa kesadaran dari proses tersebut sehingga konklusi atau sintesis dicapai.
Disamping perbedaan pandangan tentang karakteristik intuisi, umumnya para ahli psikologi sepakat bahwa pernyataan, interpretasi atau konklusi yang berbasis kepada intuisi  merupakan keputusan “segera” (immediate) terhadap suatu situasi atau masalah, atau dengan kata lain, intuisi merupakan kognisi segera (immediate cognition).
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua kognisi segera merupakan intuisi. Persepsi merupakan aktivitas mental yang juga berlangsung segera. Sebagai contoh, seseorang dengan segera dapat menyimpulkan bahwa meja-meja didepannya berbeda ukurannya, berbeda warnanya, atau berbeda bentuknya. Ini adalah persepsi seseorang terhadap meja-meja tersebut. Contoh lainnya, bilamana diberikan dua garis berpotongan, seseorang dengan segera menyimpulkan bahwa sudut-sudut yang bertolak belakang pada garis yang berpotongan tersebut sama besar. Ini adalah persepsi orang tersebut terhadap besar sudut bertolak belakang pada garis berpotongan yang disajikan padanya. Persepsi adalah aktivitas mental untuk menghasilkan representasi atau interpretasi yang didasarkan pada penggunaan alat indera.
Pada sisi lain, meskipun sifat “segera” (immediacy) merupakan artribut untuk menunjukkan berlangsungnya intuisi seseorang, beberapa ahli psikologi seperti Babay, Levyadun, Stavy dan Tirosh (2006) menyatakan bahwa dalam konteks sains dan matematika, sejauh ini belum ada alat ukur empiris untuk mengukur sifat “segera” respon intuitif (so far no empirical measurement of the immediacy of intuitive responses has been carried out in the context of science and mathematics). Oleh karena itu, sangat sulit membuktikan bahwa seseorang menggunakan intuisi bilamana artribut ini (sifat immediacy dari intuisi) harus diukur untuk dijadikan salah satu dasar atau kriteria berlangsungnya intuisi seseorang. Hal tersebut akan dibahas lagi pada bagian berikutnya (subjudul H), dalam kaitan bagaimana mendefinisikan intuisi yang akan dirujuk dalam penelitian ini.

2 komentar: